Seringkali kita membaca tulisan yang sepertinya agak bertentangan dengan kenyataaan, tapi sebenarnya itu benar. Paradoks.

paradoks/pa·ra·doks/ n pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks
Ketika orang idealis mengatakan sesuatu walaupun agak mustahil *kata orang realistis, tapi ada benarnya untuk perubahan.

idealis/ide·a·lis/ /idéalis/ n 1 orang yang bercita-cita tinggi; 2 pengikut aliran idealisme
realistis/re·a·lis·tis/ /réalistis/ a bersifat nyata (real); bersifat wajar 
Singkatnya idealis itu 'harusnya' dan realistis itu 'nyatanya'
Kita menjaga idealisme kita, berupaya mencapai standard yang begitu tinggi, seperti sebuah cita-cita yang digantungkan setinggi langit, dan kita bekerja bersusah payah meraih idealisme kita. Pragmatisme tidak akan mengantarkan manusia ke bulan, dan tanpa idealisme, tidak akan ada upaya perjalanan ke bulan. Keduanya harus berjalan bersama dalam paradoksitas ide dan upaya yang benar. Beradaptasi melalui pragmatisme untuk mencapai idealisme, mencapai kondisi ideal terbaik di antara kondisi yang sudah jauh dari ideal. Mencari keadaan terbaik diantara semua yang jelek. Seperti contoh di atas mengenai hari saya yang diawali dengan jam dinding yang rusak, saya secara pragmatis berusaha untuk menghasilkan yang terbaik dari kondisi yang sudah tidak baik. Itulah paradoks idealisme dan pragmatisme dalam kehidupan. sumber: klik
 Kalau ditanya aku orang idealis atau realistis, hmm jawabanku adalah... aku keduanya! Tanpa orang malas berjalan 30 km tidak akan ada kendaraan seperti sekarang yang bisa membantu kita sampai lebih cepat dan tak harus datang-datang berkeringat.

Ketika dihadapkan suatu tujuan baru aku memilih idealis, namun yah ketika dihadapkan pada pilihan terakhir aku 'terpaksa' menurunkan keidealisanku, menurutku hal ini lebih membuatku nyaman. Nyaman karena otakku memberiku pandangan sekaligus fakta, apa yang bisa aku lakukan saat itu.

Dalam membuat tujuan aku sekali lagi memilih idealis, tentu saja realistisku pada saat memulai tujuan berkata 'tidak'. Untungnya, sisi idealisku memaksa sisi realitasku untuk mengejar realita-realita yang bisa mendukung idealismeku atau paling tidak dia memberiku alternatif lain tapi masih setingkat. Karena aku menganggap realita itu meskipun pahit, nantinya akan membuat rasa sedih kegagalan idealismu tak terlalu jauh lebih dalam.

Apalagi aku seringkali sakit kepala hanya karena semisal permintaan idealisku tidak dituruti. Jadinya yah beginilah aku, I see it, I want it, I get it. Satu contoh saja,  saya saat SMP ingin sekali juara menggambar sekaligus punya alat-alat gambar yang berkualitas, saya tau saya bisa, keahlianku boleh lah karena saat itu aku sudah bisa gambar realisme, yang lain belum. Ah tapi realitanya sudah rahasia umum lomba begini kebanyakan 'kotornya'. Akhirnya saya mencoba bidang yang sama sekali saya tidak tertarik dan sangat baru di hidup saya, ternyata hasilnya sampai sekarang memuaskan, saya lumayan lah sering masuk finalis dan juara. Uang hasil bidang baru ini bahkan bisa saya buat untuk beli alat gambar yang saya idam-idamkan. Saya menyadari bahwa jalan ga hanya cuma satu. Saya juga pernah ingin sekali diikutkan OSN IPS, tapi la saya ngga belajar tapi cuma doa aja, tentu saja saya dipilih jadi perwakilan aja nggak wkwk.

Di masa akhir SMA pun saya dihadapkan pilihan. Awalnya saya benci masuk kedokteran dengan alasan banyak saingan yang jauh lebih ambisius dari saya dan pinginnya sih langsung FTTM karena gajinya gede, meskipun banyak juga sih yang mau kesitu tapi entah kenapa ga kepikiran ini wkwk *jujur*. Eh pada minggu-minggu terakhir saya pikir-pikir saya tidak ingin masuk Teknik meskipun kata anak kelas saya pintar Fisika, saya suka sih Fisika tapi tidak yakin kalau bisa 'jago banget', saya gasuka kalau saya setres lagi, meskipun kelas 10 dan 11 saya jarang sekali remidi meskipun sekelas kebanyakan remidi tapi pada kelas 12 saya trauma banyak remidi wkwk. Sebenarnya kalau belajar lagi pasti bisa ya, tapi sudah cukup, saya lebih suka biologi yang lebih konkret wkwk.

Akhirnya idealisme saya memaksa untuk memilih FK pada pendataan di sekolah, eh ya pasti itu sudah berlembar-lembar yang pilih FK apalagi di UB karena tingkat diterimanya lumayan tinggi. Otak saya tau, jelas-jelas kamu pasti gabisa karena secara logis dan data ini udah gabisa, kamu bukan top 10 paralel sekolah, ngapain kamu sia-siain kesempatan kalau sudah tau hasil akhirnya bakal gagal. Apalagi meskipun sudah menyiapkan SBM sejak awal Mei 2018, motivasiku sangat turun sekali entah kenapa, aku sudah capek saja, I just want a new fresh start. Dengan realita aku punya  sertifikat di FKG maka yah aku pilih FKG, beda-beda dikit kaan penting sama-sama kedokteran wkwk.

Intinya menurutku adalah kalau buat impian buat setinggi mungkin, kalau dalam perjalanan realita mengatakan tidak, jangan paksakan ego, realita pun perlu didengarkan, tak perlu ''menurunkan" mimpi, tapi mungkin kamu perlu ubah jalur untuk mencapai mimpi idealisme.

Sekian kecaww~